Wudu adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudu bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum.Penggunaan air
Jenis air yang diperkenankan
Air hujan,…
Air sumur,
Air terjun, laut atau sungai,
Air dari lelehan salju atau es batu,
Air dari tangki besar atau kolam.
Jenis air yang tidak diperkenankan
Air yang tidak bersih atau ada najis
Air sari buah atau pohon
Air yang telah berubah warna, rasa dan bau dan menjadi pekat karena sesuatu telah direndam di dalamnya,
Air dengan jumlah sedikit (kurang dari 1000 liter) yang terkena sesuatu yang tidak bersih seperti urin, darah atau minuman anggur atau ada seekor binatang mati di dalamnya,
Air bekas wudu,
Air yang tersisa setelah binatang haram meminumnya seperti anjing, babiatau binatang mangsa,
Air yang tersisa oleh seseorang yang telah mabuk karena khamr (minuman keras).
Air mustamal menurut pendapat empat mahzab
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudu atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudu` untuk salat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudu sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tetapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tetapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudu atau mandi.
Mahzab Al-Malikiyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudu atau mandi, dan tidak dibedakan apakah wudu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis), dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
Mahzab Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudu atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudu. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudu, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila, dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh. Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudu atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tetapi tidak mensucikan.
Mahzab Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian, dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya. Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudu. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudu.
Hukum wudu
Pelaksanaan wudu wajib dilakukan oleh umat Muslim, ketika hendak melakukan ibadah salat, thawaf di Ka’bah, dan menyentuh al-Qur’an. Berwudu untuk menyentuh al-Qur’an menurut pendapa
Hukum wudu
>Wajib
Pelaksanaan wudu wajib dilakukan oleh umat Muslim, ketika hendak melakukan ibadah salat, thawaf di Ka’bah,[2][3] dan menyentuh al-Qur’an. Berwudu untuk menyentuh al-Qur’an menurut pendapat para ulama empat madzhab adalah wajib, berdasarkan salah satu surah dalam al-Qu’ran, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al Waaqi’ah 56:77-79)”
Sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi’ah di atas ialah: “Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para malaikat yang telah disucikan oleh Allah.” Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan bentuk faa’il (subjek/pelaku) bukan maf’ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan”, yakni dengan bentuk maf’ul (objek) bukan sebagai faa’il
>Sunnah
Wudu bersifat sunnah adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini:
1.Mengulangi wudu untuk tiap salat,
2.Bagi setiap Muslim untuk selalu tampil dengan wudu,
3.Ketika hendak tidur,dalam keadaan junub,
4.Sebelum mandi wajib,
5.Ketika hendak mengulangi hubungan badan,
6.Ketika marah,
7.Ketika membaca al-Qur’an,
8.Ketika Melantunkan azan dan iqamat,
9.Ziarah ke makam Nabi Muhammad,
10.Menyentuh kitab-kitab syar’i.