- Pengertian Al-Hadits
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.
- Kedudukan Hadits
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا
Artinya : “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
- Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :
Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “
ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.
Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
- Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
- Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
- Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
- Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
- Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :
- Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
- Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
- Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
- Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
- Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
- Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.
Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)